Secarik Risalah dari Hijrah Sang Nabi
Jumat, 17 Desember 2010Kota Makkah, dimana pada zaman kuno terletak di garis lalu lintas perdagangan antara Yaman (Arabia Selatan) dan Syam dekat Laut Tengah, yang keduanya telah mencapai peradaban cukup tinggi. Dipandang secara geografis, kota lembah tersebut hampir terletak di tengah-tengah jazirah Arabia , salah satu kota penting yang menghubungkan jalur strategis pada masanya. Sedangkan kota Yatsrib -- yang kemudian berganti nama menjadi Madinah -- sejak zaman dahulu merupakan stasiun perdagangan yang juga penting, dimana kota tersebut terletak diantara lalu lintas Makkah menuju Syiria.
Pembahasan historis dan etimo-terminologis menyebutkan bahwa peristiwa hijrah Sang Nabi saw. dari Makkah menuju Madinah, dari sekian makna yang ada -- disana, pada lima belas abad yang silam -- telah menorehkan salah satu catatan penting bagi umat ini, catatan yang mengajarkan sikap untuk tidak pernah berhenti dalam berjuang menyampaikan pesan agung kebenaran Islam ke seluruh alam semesta.
Ketika dakwah Sang Nabi saw. mendapat tekanan, perlawanan, dan bahkan ancaman fisik. Dan ketika semangat gerak perjuangan menyampaikan risalah agung Tuhan dihadang, dihalang, dan berusaha untuk dipadamkan. Maka, sejarah mengajarkan kepada umat pilihan ini, umat terbaik, agar tidak pernah tinggal diam, pasrah pada keadaan yang menyulitkan. Akan tetapi, seharusnya umat ini terus bergerak, berperan sebagai manusia yang tak pernah berputus asa.
Sesungguhnya agama, berpegang teguh dan membelanya, dengan berbagai media yang dapat ditemukan dalam celah realita, hal itu merupakan asas utama membangun suatu kekuatan yang tangguh, dan benteng yang kokoh untuk menjaga, membela, atau melindungi hak yang kita miliki dari harta benda, kedaulatan negara, kemerdekaan, dan kemuliaan harga diri.
Bermula dari pijakan prinsip ini, kita mesti menyadari bahwa sunnatullâh di alam semesta sepanjang sejarahnya memperlihatkan bahwa kekuatan maknawi hampir selalu bersandingkan kekuatan materi. Tidak bersandar penuh kepadanya, namun tidak juga meniadakannya sama sekali.
***
Bila kita tahu bahwa hidup yang lapang bahagia, nyaman, dan damai sentosa, dianugerahkan bagi orang-orang yang bersuka cita dan mereka yang mengikuti jejak takwa, hanyalah kehidupan surga; dan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah beramal saleh sampai ajal menjelang tiba, sebagai suatu nilai hidup husnul khâtimah. Maka beramal sebanyak mungkin, sebatas kemampuan, dan berusaha ihsân dalam menjalaninya adalah konsekuensi sesudah memahaminya.
Ihsân bermakna optimal dengan tanpa cenderung melakukannya seketika, secara tiba-tiba, mendorong dengan keras, bahkan euphoria, atau malah cenderung santai, bermalas-malasan, tak bergairah. Karena yang demikian itu akan menjadi sebab bagi terhentinya seluruh amal yang seharusnya dilakukan.
Tatkala himmah dalam diri mulai melemah, gerakkan aktivitas ibadah kita, tetaplah beramal. Kobarkan nyalanya bila kian meredup. Bangkitlah kembali meski harus tertatih-tatih. Bergelombanglah jangan surut menepi. Bergeraklah, karena diam berarti mati!
Bukankah hidup manusia teridentifikasi dengan napas, denyut nadi, dan degup jantung. Dan bukankah semua itu adalah gerak? Bahkan semesta ini seluruhnya adalah gerak. Dari mikrokosmos sampai makrokosmos semua berada pada kesinambungan gerak proton dan neutron dalam setiap partikelnya. Sebagaimana gerak putaran bumi, bulan, dan matahari pada porosnya. Sebagaimana kinerja bintang-bintang dari ledakan nova hingga supernova. Semua berputar, bergerak, bertasbih dengan bahasa tubuhnya sendiri-sendiri. Seperti kalbu baginda Nabi saw., tanâmu 'aynâhu wa lâkin lâ yanâmu qalbuhu.
Allah Sang Pencipta tak akan pernah 'jenuh' menerima amal-amal hamba-Nya, sehingga hamba sendirilah yang lebih dahulu merasa jenuh. Sedangkan amal yang paling disukai Allah adalah yang kontinu, langgeng, istiqomah meskipun itu sedikit. Maka bersemangatlah dalam beramal, sebatas kemampuan, hingga tak terasa suntuk, jenuh, dan bosan dalam beribadah. Lalu merasa rehat, santai, atau malas saat meninggalkannya, menjadi sebab terhentinya aktivitas utama sebagai seorang hamba. Lelah ketika beramal untuk akhiratnya.
Kemampuan manusia tentulah berbeda-beda. Bila baginda Nabi saw. mampu melakukan qiyâm al-lail hingga kedua kaki beliau merasa keletihan. Dan Imam Ali Zainal Abidin ra. mampu melakukan shalat sunnah dalam sehari semalam seribu raka'at. Juga dikisahkan bahwa Imam al-Junaid ketika masuk ke dalam kedainya, ia memasang tirai lalu melakukan shalat empat ratus raka'at. Tentu semua itu sangat menakjubkan. Kita tetaplah berharap agar mencapai maqam tersebut, tak usah patah semangat, namun jangan lupa batas kemampuan untuk memulainya.
Di penghujung segala harap dan cemas dalam beribadah, ingatlah akan kehidupan abadi, istana-istana mewah di taman indah surgawi, dan ingatlah akan tujuan tertinggi, puncak kenikmatan yang tak tertandingi, menatap "Wajah Agung Ilahi". Maka sebagai langkah awal, mulailah dari batas kemampuan yang dimiliki saat ini. Mungkin saat kita bergerak, bertahan di poros semangat yang ada, saat itulah daya magnet ruhani dalam diri mulai terkumpul. Bermula dari gerakan yang teratur, berkesinambungan, sampai akhirnya menjadi adat kebiasaan yang tetap, dan akan terasa berat bila ditinggalkan lagi. Wallâhul muwaffiq!
فَهِجِ الأَعْمَالَ إِذَا رَكَدَتْ فَإِذَا مَا هِجْتَ إِذًا تَهِجِ
"Maka gerakkanlah amal perbuatan bila diam terhenti,
engkau bergerak berarti engkau bangkit kembali!"
(Imam Abul Fadl Yusuf al-Tauzary dalam Kasidah al-Munfarijah)
Langganan:
Postingan (Atom)